|
Image from google |
Potongan-potongan
kenangan dicuri oleh waktu. Lambat laun, semuanya hilang tanpa bekas, namun
cinta tak akan pernah lupa rumahnya. Akan selalu ada desir yang meraja hati,
akan selalu ada detak yang seirama terdengar, dan akan tetap selalu ada rasa
yang tak bisa didefenisikan meski ingatan telah kabur. Mungkin Aku kelak tidak
bisa lagi mengingat namamu, namun Aku yakin, Aku pasti akan selalu
menyayangimu. Bahkan jika kelak waktu telah menghapus ingatan ini, bahkan jika Aku
akan mulai melupakan raut wajahmu, Aku berjanji, tak akan pernah berhenti
berjuang untuk mengingat bagaimana Kau
mencintaiku.
***
Pagi
itu Aku terbangun dengan mata yang masih menutup. Kantukku belum hilang, namun
keinginan untuk membuang hajat jauh lebih besar. Pagi itu, sunyi dipecahkan oleh
langkah sepatu yang kian mendekat, suara derit pintu yang terbuka dan kecupan
ringan mampir dikening, menyadarkanku. “Selamat Pagi!” Sapa ringan dari suara itu
menghilangkan kantukku. Mataku terbuka menatap senyum yang sedari tadi melebar,
dengan sepasang mata indah yang menatapku. Peluh mengalir dari dahinya dengan
handuk yang masih bertengger dibahunya. Sepertinya dia baru saja melakukan olahraga
pagi. Terlihat jelas dari sepatu olah raga yang belum dilepas. “Sudah selesai
?” tanyanya kembali membuyarkan beberapa detik kebingunganku. “Selesaikan
mimpimu belakangan, Aku lapar, ayo sarapan!” Ucapnya berlalu meninggalkanku
yang dipenuhi kebingungan. Ada jeda panjang dipikiranku hingga akhirnya Aku
kembali sadar seperti biasanya. Hari itu, hari pertamaku melupakanmu.
“Hai,
Kamu ingat siapa Aku?” Tanyamu di lain waktu, terdengar seperti tengah menggodaku,
tentu saja Aku mengingatmu. Kau manusia pertama yang begitu Aku cintai selain
diriku sendiri. Bersamamu Aku menjadi wanita yang paling beruntung. Bagaimana Aku
bisa melupakanmu ? bahkan jika Aku mendadak amnesia sekalipun, Aku pasti akan
bisa mengenalimu. Itu jawabku selalu. Kau, pemilik senyum yang terindah. Aku
pasti tak akan melupakanmu. Janji.
Pagi
itu Aku terbangun dengan teriakan yang pasti mengagetkanmu. Aku benci diriku
sendiri yang mulai perlahan melupakan semua kenangan-kenangan kita. Sekeras
apapun Aku mencoba, kenangan itu perlahan menjauh dan hilang begitu saja. Aku
sepertinya mulai lupa, lupa untuk tidak melupakanmu.
“Sedang
apa kamu disini ?” tanyaku lagi yang mungkin sudah entah keberapa kali dan Aku
bisa melihat bagaimana mata itu berubah menjadi sendu. “Menemanimu” jawabmu lembut.
Ada getir yang terasa dalam setiap perkataanmu. Pelukanmu mengembalikan
semuanya. Belaian tanganmu menenangkan tangisku pagi itu. Hari itu, hari pertamaku
melupakan pernikahan kita.
“Kamu
tak mau pergi saja dariku ?” tanyaku suatu hari. Ada saat dimana ketentraman
berlangsung cukup panjang. Aku selalu berharap hari-hari seperti itu
berlangsung selamanya. Saat Aku tak perlu menjerit dikala bangun pagi, ataupun
mulai melupakan beberapa hal atau juga mulai menanyakan pertanyaan yang
berulang. Kadang ada dimana hari, semua berjalan dengan normal dan Aku ingin
hari itu belangsung selamanya. Aku hanya tak ingin menambah kerepotanmu
mengurusiku setiap harinya. “Pergi
kemana? Rumahku disini, cintaku disini, dan istriku disini. Aku harus pergi
kemana lagi? Aku justru tak punya tempat selain disini bersama kamu.” Jawabmu,
tangan kita menggengam erat. Bahkan mungkin kau menggenggamnya lebih erat dari
yang pernah kuingat. “Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua akan baik-baik
saja” Sambungmu sembari mengecup puncak rambutku. Kau selalu menyakinkanku
bahwa tak akan pernah ada yang berubah, meski ingatanku kelak menua.
Banyak
hal yang Aku takutkan, ketika waktu mulai mengambil alih memoriku. Aku mulai takut
akan malam. Aku takut tuk terlelap dan bangun tanpa bisa mengingat apapun lagi.
Aku juga takut, dipagi hari saat Aku terbangun, kau sudah pergi meninggalkanku.
Dan meski kau sudah pergi, Aku bahkan tidak bisa mengingat hadirmu pernah ada.
Lemari pendingin menjadi saksi bagaimana Aku berjuang untuk tidak melupakan
keberadaanmu. Satu-satunya cara untuk mengabadikan kenangan hanyalah lewat gambar
katamu, dan sejak itu Aku tak pernah berhenti mengabadikan gambarmu dan
menempelkannya disana. Katamu, kau tak akan membiarkan Aku melupakan tentang
kita. Kau akan menemaniku dan berjanji menjadi pengingat yang baik saat Aku
melupakan beberapa hal. Lalu bagaimana jika Aku malah melupakanmu?. Itu tanyaku
kelima kalinya pagi ini bukan? tak maukah kau melarikan diri saja ?
Saat
benih cinta mulai tumbuh dan berkembang bersatu dalam diriku, tak ada yang
lebih membahagiakan daripada itu. Aku menuliskannya disemua tempat hanya karena
Aku takut melupakannya. Aku bahkan menuliskan tentang keberadaan malaikat kecil
itu ditubuhku. Aku ingin mengingatnya sekeras Aku tidak ingin melupakanmu. Tapi
kau pasti ingat bagaimana dokter menyarankan untuk mengubur mimpi-mimpi kita
hanya karena Aku. Dan demi Aku, katamu, kau rela untuk menunda dirimu dipanggil
sebagai seorang “Ayah”. Tak mudah menjalaninya bersamaku. Wanita yang tak
berdaya karena waktu. Yang memorinya punya batas dan sewaktu-waktu justru bisa
terhapus. “Nanti, saat waktu memberi kita banyak kesempatan lebih lama lagi
untuk mengingat banyak hal, Aku janji saat itu kamu akan menggendong buah hati
kita. Kamu pasti akan menjadi ibu yang hebat.” Ucapmu lirih. Matamu kali ini basah
dipenuhi air mata. Hari itu, hari pertamaku melihatmu menangis.
***
Pagi
ini Aku terbangun lebih cepat sepertinya. Matahari belum menampakkan dirinya. Aku
hanya bisa memastikan waktu lewat jam yang tepat berada di nakas samping tempat
tidurku. Pikiranku kosong, Aku tengah mencari memori yang tersisa. Apa yang
terjadi sebelum Aku tidur, Aku sedang berada dimana, hingga pertanyaan siapa Aku
yang sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selalu Aku coba tanyakan
pada diri ini, kala waktu menunjukkan pukul 6 tepat. Aku tahu, Aku telah
melewatkan tahun-tahun yang panjang. Tanganku mulai berubah sepertinya, keriput
mulai mengambil bagian dalam tubuhku. Aku mengedarkan pandang kesekeliling.
Kudapati gambar-gambar pria dan wanita yang saling merangkul memenuhi dinding
kamar. Banyak tulisan-tulisan tangan pula yang memenuhi dinding. Ada kehangatan
didada saat Aku melihat itu semua. Entah siapa yang ada foto itu, tapi yang Aku
tahu mereka pasti sangat bahagia. Pandanganku berhenti pada sosok lelaki yang
tengah tertidur pulas tepat disampingku. Suara dengkurannya terdengar sangat
menenangkan. Wajahnya juga dihiasi oleh beberapa kerutan, namun tak mampu
menutupi wajahnya yang tampan. Lelaki paruh baya itu tertidur pulas seperti
seorang bayi. Uban juga tampak diantara rambut hitam gelombangnya. Aku
mengenalinya, sepertinya dia adalah pria yang berada dalam gambar-gambar ini.
Dan Akukah wanita itu ?
Lelaki
itu tersentak, terbangun. Mungkin dia terganggu dengan suara yang ada
dipikiranku. Dia tersenyum lebar, dengan sepasang lesung pipi itu Aku menjamin
pasti banyak wanita yang rela menjadi kekasihnya. “Kamu sudah bangun ?”
tanyanya sembari tersenyum kembali. Aku hanya mampu menatap lelaki itu, mencoba
mencari informasi yang tersisa tentangnya dikepalaku.. Kosong. Hanya dada ini
yang bergemuruh, ada desiran hangat dalam tubuhku, yang menandakan bahwa
mungkin Aku sangat mengenal lelaki ini. Bulir air mata jatuh tanpa Aku perintah
seperti mengikuti kata hati, air mata ini jatuh tak terbendung. Entah apa yang
harus Aku tangisi, Aku bahkan tidak mampu mengingatnya.
Lelaki
itu beranjak dan mendekatiku, khawatir. “Kamu baik-baik saja ?” Raut wajah itu,
kepedihan di mata itu, tak mampu Aku artikan. Genggaman tangannya yang menguat
justru membuat hati kian merasa sakit. “Hai...” jawabku singkat yang tak
menjawab pertanyaannya. Tak lepas pandangku dari matanya. Sembari menggali
kembali setiap kenangan yang ada, berharap sedikit ada yang tertinggal.
“Kamu
baik-baik saja kan ?” Ucapannya kali ini terdengar kalut. Tangannya meraih
bahuku, matanya mencari mataku mungkin ingin memastikan bagaimana keadaanku
yang sebenarnya. Aku hanya mampu menatap kedalam matanya, mata coklat hazelnut
yang menenangkan itu akhirnya luruh. Ada genangan air mata yang mengalir saat Aku
bahkan tak mampu menjawabnya.
“Kamu
mengingatku bukan !?” Tanyanya putus asa. Ada isak yang jelas terdengar. Ada
rasa perih didalam matanya saat pertanyaan itu Ia ucapkan. “NAMAKU SIAPA AIRA
?!!” Bentaknya kali ini “JAWAB!” Teriaknya sambil mengguncang bahuku.
Aira.
Nama yang bagus sepertinya. Itukah namaku ? Air mataku hanya terus mengalir. Aku
bahkan tidak bisa mengingat namaku sendiri. Inikah akhirnya?
“Airaa...”
Panggilnya putus asa. Isaknya kian kuat. Aku pun begitu. Aku bahkan tidak tahu
harus menyapanya dengan sebutan apa. “Aira...” hanya itu yang mampu ia ucapkan.
Lelaki itu memanggil namaku seolah-olah hanya nama itu yang selama ini ada di
hatinya. Dia menatapku memelas. Seperti berharap agar Aku berhenti berpura-pura
lupa. “Kamu mengenaliku kan, Aira?” Kali ini dia menghapus semua air mata yang
ada. Menyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia terus menatapku
sambil berusaha menahan tangis yang jelas jelas sebentar lagi akan pecah.
“Aku
tidak mengenali dirimu. Aku tidak mengingat namamu, Maaf...” Ada perasaan
hancur yang terpancar dari wajahnya saat Aku mengucapkan kalimat itu. Matanya
terpejam berusaha menolak bahwa yang dia dengar adalah salah. “Aku mencoba,
tapi aku tak mengenalimu, maaf...” tangisku menguat. Kepala ini sepertinya kian
tak berguna, kupukul berulang kali hanya berharap dengan begitu kali saja
kepala ini bisa kembali dengan sistemnya yang semula. Lelaki itu hanya mampu menundukkan kepala dengan baju yang telah dibanjiri airmatanya sendiri. Isak tangis memenuhi ruangan kamar ini. Dia yang menangisi kenyataan dan Aku yang menangisi keadaan. “Aku mungkin tak mampu
mengingatmu, tapi hati ini mengingatnya. Hati ini tahu bahwa Kamu sangat
mencintaiku, dan Aku pun yakin, Kamu adalah orang yang sangat Aku cintai”. Tanganku menggenggam erat jemari itu, Kalimatku ditutup oleh tangisnya yang kian terasa perih. Dia segera meraihku kepelukannya. “Terima
Kasih, Aira. Terima Kasih...” bisiknya. Hanya itu yang ia ucapkan. Dia mengecup
wajahku. Membanjiriku dengan kecupan yang banyak. “Aku pun sangat mencintaimu”
jawabnya.
Pagi
itu, Pagi terakhirku mengenalimu. Memoriku lenyap tak bersisa. Tapi Aku tahu,
ada satu hal yang tak akan pernah hilang dariku, meski waktu coba untuk
merebutnya. Bagaimana kau mencintaiku di hari pertama kita bertemu, bagaimana kau
tetap mencintaiku di hari-hari Aku melupakanmu, dan bagaimana kau tetap
mencintaiku meski kelak tanpa ragaku. Hatiku akan tetap mengingatnya.