Selasa, 31 Desember 2019

End Of Year


31 Desember 2019.

Aku menulis ini di penghujung pergantian tahun 2019 sembari memikirkan kira-kira apa yang ingin aku bagikan kepada orang yang mungkin membaca tulisan-tulisan ini. 
Saat ini, aku duduk diruang tamu tempat yang selalu aku sebut rumah. Sendirian. 
Bapak entah sedang pergi kemana. Abang dan para ponakan belum tiba. Dan mamak sudah disurga. 
Di penghujung tahun seperti ini biasanya orang-orang akan kembali mengevaluasi hidup mereka setahun yang lalu, kemudian merencanakan kembali hal-hal penting untuk di tahun yang akan datang. Aku ? Sama... , aku juga melakukannya. Aku kembali mengingat apa yang telah terjadi setahun ini. 
Dimulai dari gagalnya menyentuh Raja Ampat, namun berujung pada menonton konser Westlife.
Menyadari jatuh cinta lalu kemudian patah tidak berapa lama.
Pulang ke medan sebanyak 3 kali dalam setahun. 
Menghadiri pernikahan sepupu dekat yang berujung pada galau berkepanjangan. 

Menjelang tahun ini berakhir, aku juga diberikan kesempatan untuk mengalami pertemuan dengan orang yang tak pernah terfikirkan sebelumnya. 
Bertemu dengan mantan untuk pertama kalinya setelah 5 tahun berpisah dan terakhir baru baru ini bertemu dengan seseorang yang menemuinya memberikan sebuah pelajaran baru tentang sebuah rasa. Seseorang yang namanya pernah menghiasi dinding belakang rumahku dan menghiasi pohon belakang rumah nenekku.
Seolah semesta sedang mengizinkan orang-orang dari masa lalu mampir sejenak mewarnai masa kini namun entah bagaimana di masa depan. 

Tahun ini, banyak pembicaraan-pembicaraan serius yang terjadi ketika berbicara dengan bapak. Tentang hidup dan masa depan. 
Semakin berlalu hari aku hanya semakin takut untuk menua. 
Aku semakin takut tua dan terlupakan. 
Aku bahkan bingung harus membuat resolusi bagaimana untuk tahun yang akan datang.

Entah bagaimana esok di tahun 2020
Entah bagaimana aku akan menyelesaikannya, aku bahkan tidak punya rencana. 
Karena sepertinya aku sampai di titik dimana aku sendiri tidak tahu, apa yang sedang aku inginkan.



Selamat Tahun Baru. 
Selamat menemukan Nas!! 




Senin, 24 Juni 2019

Cukupkanlah -2





Perlu banyak waktu bagiku menumbuhkan suka,

Namun tak cukup banyak waktu diperlukan oleh luka.


Rasa mengisi hati,

Hati terisi sepi.
Meski tak bersisi, 
Bolehkah aku sekedar memimpikanmu lagi?

Tiga hari dari sekarang, lukanya mungkin belum sembuh.
Tiga hari dari sekarang, cintanya mungkin masih utuh.
Tapi, tiga hari dari sekarang, aku hanya ingin mengingatmu dengan baik,
Bahwa ada hal-hal yang tak perlu diusahakan.
Merasa saja sudah cukup.
Tak berbalas pun tak apa.
Bahwa ada hal-hal yang tak perlu diperjelas,
Tentang aku yang menyukaimu dan kau yang tidak.

Rabu, 19 Juni 2019

Sewaktu makan malam tiba...

Ada saat dimana aku benar-benar ingin bertemu denganmu.
Saat hariku benar-benar buruk.
Saat semua jalan terasa buntu.
Aku ingin meletakkan sejenak kepala ini dipundakmu.

Ada saat dimana aku merasa ingin menikmati makan malamku bersamamu.
Menutup hari dengan berbincang denganmu.
Aku bosan hanya ditemani bangku kosong.
Aku bosan menghabiskan makananku seorang diri.

Ada hari dimana aku tak berani menegakkan kepalaku.
Lagu-lagu sendu mengiringi langkahku.
Hari dimana aku ingin menangis sekencangnya.
Hari dimana aku hanya ingin dipeluk sekuatnya.

Ada hari dimana aku menunggumu menyelamatkanku.
Ada hari dimana aku menunggumu mencariku.

"Bagaimana harimu?"

Ada hari dimana aku membayangkan dirimu menungguku pulang.
Kau menanyakan bagaimana aku melalui hariku saat itu.
Hari itu, dengan membayangkannya saat ini, hatiku terasa hangat.

Ada hari-hari aku ingin segera menemuimu.
Ada hari dimana aku ingin berlari mencarimu.
Karena sepertinya, terlalu berat bagiku menjalani hari itu seorang diri.

Bagaimana kabarmu hari ini?
Makan malamku sudah habis.
Kau tak jua datang menemani

Bob Dylan:
Ev’rything is always right
When I’m alone with you

Senin, 01 April 2019

Cukupkanlah -1

Cukupkanlah Ikatanmu,
Relakanlah yang tak seharusnya untukmu. 
Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri.
-Kunto Aji-


Ada rasa yang seharusnya mampu dikendalikan. Sadar untuk dicukupkan.
Bahwa cukup untuk menyukai seseorang lebih dari diri sendiri.
Untuk tahu kapan berhenti lalu melanjutkan hidup.
Untuk tahu kapan melepaskan yang seharusnya memang dilepaskan.
Meski tahu, sulitnya bukanlah tentang bagaimana melanjutkan hidup, melainkan khawair akan melepaskan kenangan. 
Karena tahu bahwa setiap rasa yang bermuara tidak datang tiba-tiba,
Ada waktu yang mengambil peran.
Dan sama seperti hadirnya cinta, melepaskan juga membutuhkan waktu.
Tak bisa tiba-tiba, tak bisa seketika.

Cukupkanlah ..
ulangi kata itu bak mantra. 
hingga esok kau terbangun dengan hati yang baru.
Cukupkanlah...



Selasa, 26 Februari 2019

Melawan Lupa

Image from google 

Potongan-potongan kenangan dicuri oleh waktu. Lambat laun, semuanya hilang tanpa bekas, namun cinta tak akan pernah lupa rumahnya. Akan selalu ada desir yang meraja hati, akan selalu ada detak yang seirama terdengar, dan akan tetap selalu ada rasa yang tak bisa didefenisikan meski ingatan telah kabur. Mungkin Aku kelak tidak bisa lagi mengingat namamu, namun Aku yakin, Aku pasti akan selalu menyayangimu. Bahkan jika kelak waktu telah menghapus ingatan ini, bahkan jika Aku akan mulai melupakan raut wajahmu, Aku berjanji, tak akan pernah berhenti berjuang  untuk mengingat bagaimana Kau mencintaiku.
***
Pagi itu Aku terbangun dengan mata yang masih menutup. Kantukku belum hilang, namun keinginan untuk membuang hajat jauh lebih besar. Pagi itu, sunyi dipecahkan oleh langkah sepatu yang kian mendekat, suara derit pintu yang terbuka dan kecupan ringan mampir dikening, menyadarkanku. “Selamat Pagi!” Sapa ringan dari suara itu menghilangkan kantukku. Mataku terbuka menatap senyum yang sedari tadi melebar, dengan sepasang mata indah yang menatapku. Peluh mengalir dari dahinya dengan handuk yang masih bertengger dibahunya. Sepertinya dia baru saja melakukan olahraga pagi. Terlihat jelas dari sepatu olah raga yang belum dilepas. “Sudah selesai ?” tanyanya kembali membuyarkan beberapa detik kebingunganku. “Selesaikan mimpimu belakangan, Aku lapar, ayo sarapan!” Ucapnya berlalu meninggalkanku yang dipenuhi kebingungan. Ada jeda panjang dipikiranku hingga akhirnya Aku kembali sadar seperti biasanya. Hari itu, hari pertamaku melupakanmu.

Hai, Kamu ingat siapa Aku?” Tanyamu di lain waktu, terdengar seperti tengah menggodaku, tentu saja Aku mengingatmu. Kau manusia pertama yang begitu Aku cintai selain diriku sendiri. Bersamamu Aku menjadi wanita yang paling beruntung. Bagaimana Aku bisa melupakanmu ? bahkan jika Aku mendadak amnesia sekalipun, Aku pasti akan bisa mengenalimu. Itu jawabku selalu. Kau, pemilik senyum yang terindah. Aku pasti tak akan melupakanmu. Janji.

Pagi itu Aku terbangun dengan teriakan yang pasti mengagetkanmu. Aku benci diriku sendiri yang mulai perlahan melupakan semua kenangan-kenangan kita. Sekeras apapun Aku mencoba, kenangan itu perlahan menjauh dan hilang begitu saja. Aku sepertinya mulai lupa, lupa untuk tidak melupakanmu.
“Sedang apa kamu disini ?” tanyaku lagi yang mungkin sudah entah keberapa kali dan Aku bisa melihat bagaimana mata itu berubah menjadi sendu. “Menemanimu” jawabmu lembut. Ada getir yang terasa dalam setiap perkataanmu. Pelukanmu mengembalikan semuanya. Belaian tanganmu menenangkan tangisku pagi itu. Hari itu, hari pertamaku melupakan pernikahan kita.

“Kamu tak mau pergi saja dariku ?” tanyaku suatu hari. Ada saat dimana ketentraman berlangsung cukup panjang. Aku selalu berharap hari-hari seperti itu berlangsung selamanya. Saat Aku tak perlu menjerit dikala bangun pagi, ataupun mulai melupakan beberapa hal atau juga mulai menanyakan pertanyaan yang berulang. Kadang ada dimana hari, semua berjalan dengan normal dan Aku ingin hari itu belangsung selamanya. Aku hanya tak ingin menambah kerepotanmu mengurusiku setiap harinya. Pergi kemana? Rumahku disini, cintaku disini, dan istriku disini. Aku harus pergi kemana lagi? Aku justru tak punya tempat selain disini bersama kamu.” Jawabmu, tangan kita menggengam erat. Bahkan mungkin kau menggenggamnya lebih erat dari yang pernah kuingat. “Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Semua akan baik-baik saja” Sambungmu sembari mengecup puncak rambutku. Kau selalu menyakinkanku bahwa tak akan pernah ada yang berubah, meski ingatanku kelak menua.

Banyak hal yang Aku takutkan, ketika waktu mulai mengambil alih memoriku. Aku mulai takut akan malam. Aku takut tuk terlelap dan bangun tanpa bisa mengingat apapun lagi. Aku juga takut, dipagi hari saat Aku terbangun, kau sudah pergi meninggalkanku. Dan meski kau sudah pergi, Aku bahkan tidak bisa mengingat hadirmu pernah ada. Lemari pendingin menjadi saksi bagaimana Aku berjuang untuk tidak melupakan keberadaanmu. Satu-satunya cara untuk mengabadikan kenangan hanyalah lewat gambar katamu, dan sejak itu Aku tak pernah berhenti mengabadikan gambarmu dan menempelkannya disana. Katamu, kau tak akan membiarkan Aku melupakan tentang kita. Kau akan menemaniku dan berjanji menjadi pengingat yang baik saat Aku melupakan beberapa hal. Lalu bagaimana jika Aku malah melupakanmu?. Itu tanyaku kelima kalinya pagi ini bukan? tak maukah kau melarikan diri saja ?

Saat benih cinta mulai tumbuh dan berkembang bersatu dalam diriku, tak ada yang lebih membahagiakan daripada itu. Aku menuliskannya disemua tempat hanya karena Aku takut melupakannya. Aku bahkan menuliskan tentang keberadaan malaikat kecil itu ditubuhku. Aku ingin mengingatnya sekeras Aku tidak ingin melupakanmu. Tapi kau pasti ingat bagaimana dokter menyarankan untuk mengubur mimpi-mimpi kita hanya karena Aku. Dan demi Aku, katamu, kau rela untuk menunda dirimu dipanggil sebagai seorang “Ayah”. Tak mudah menjalaninya bersamaku. Wanita yang tak berdaya karena waktu. Yang memorinya punya batas dan sewaktu-waktu justru bisa terhapus. “Nanti, saat waktu memberi kita banyak kesempatan lebih lama lagi untuk mengingat banyak hal, Aku janji saat itu kamu akan menggendong buah hati kita. Kamu pasti akan menjadi ibu yang hebat.” Ucapmu lirih. Matamu kali ini basah dipenuhi air mata. Hari itu, hari pertamaku melihatmu menangis.

***
Pagi ini Aku terbangun lebih cepat sepertinya. Matahari belum menampakkan dirinya. Aku hanya bisa memastikan waktu lewat jam yang tepat berada di nakas samping tempat tidurku. Pikiranku kosong, Aku tengah mencari memori yang tersisa. Apa yang terjadi sebelum Aku tidur, Aku sedang berada dimana, hingga pertanyaan siapa Aku yang sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selalu Aku coba tanyakan pada diri ini, kala waktu menunjukkan pukul 6 tepat. Aku tahu, Aku telah melewatkan tahun-tahun yang panjang. Tanganku mulai berubah sepertinya, keriput mulai mengambil bagian dalam tubuhku. Aku mengedarkan pandang kesekeliling. Kudapati gambar-gambar pria dan wanita yang saling merangkul memenuhi dinding kamar. Banyak tulisan-tulisan tangan pula yang memenuhi dinding. Ada kehangatan didada saat Aku melihat itu semua. Entah siapa yang ada foto itu, tapi yang Aku tahu mereka pasti sangat bahagia. Pandanganku berhenti pada sosok lelaki yang tengah tertidur pulas tepat disampingku. Suara dengkurannya terdengar sangat menenangkan. Wajahnya juga dihiasi oleh beberapa kerutan, namun tak mampu menutupi wajahnya yang tampan. Lelaki paruh baya itu tertidur pulas seperti seorang bayi. Uban juga tampak diantara rambut hitam gelombangnya. Aku mengenalinya, sepertinya dia adalah pria yang berada dalam gambar-gambar ini. Dan Akukah wanita itu ?
Lelaki itu tersentak, terbangun. Mungkin dia terganggu dengan suara yang ada dipikiranku. Dia tersenyum lebar, dengan sepasang lesung pipi itu Aku menjamin pasti banyak wanita yang rela menjadi kekasihnya. “Kamu sudah bangun ?” tanyanya sembari tersenyum kembali. Aku hanya mampu menatap lelaki itu, mencoba mencari informasi yang tersisa tentangnya dikepalaku.. Kosong. Hanya dada ini yang bergemuruh, ada desiran hangat dalam tubuhku, yang menandakan bahwa mungkin Aku sangat mengenal lelaki ini. Bulir air mata jatuh tanpa Aku perintah seperti mengikuti kata hati, air mata ini jatuh tak terbendung. Entah apa yang harus Aku tangisi, Aku bahkan tidak mampu mengingatnya.
Lelaki itu beranjak dan mendekatiku, khawatir. “Kamu baik-baik saja ?” Raut wajah itu, kepedihan di mata itu, tak mampu Aku artikan. Genggaman tangannya yang menguat justru membuat hati kian merasa sakit. “Hai...” jawabku singkat yang tak menjawab pertanyaannya. Tak lepas pandangku dari matanya. Sembari menggali kembali setiap kenangan yang ada, berharap sedikit ada yang tertinggal.
Kamu baik-baik saja kan ?” Ucapannya kali ini terdengar kalut. Tangannya meraih bahuku, matanya mencari mataku mungkin ingin memastikan bagaimana keadaanku yang sebenarnya. Aku hanya mampu menatap kedalam matanya, mata coklat hazelnut yang menenangkan itu akhirnya luruh. Ada genangan air mata yang mengalir saat Aku bahkan tak mampu menjawabnya.
Kamu mengingatku bukan !?” Tanyanya putus asa. Ada isak yang jelas terdengar. Ada rasa perih didalam matanya saat pertanyaan itu Ia ucapkan. “NAMAKU SIAPA AIRA ?!!” Bentaknya kali ini “JAWAB!” Teriaknya sambil mengguncang bahuku.
Aira. Nama yang bagus sepertinya. Itukah namaku ? Air mataku hanya terus mengalir. Aku bahkan tidak bisa mengingat namaku sendiri. Inikah akhirnya?
Airaa...” Panggilnya putus asa. Isaknya kian kuat. Aku pun begitu. Aku bahkan tidak tahu harus menyapanya dengan sebutan apa. “Aira...” hanya itu yang mampu ia ucapkan. Lelaki itu memanggil namaku seolah-olah hanya nama itu yang selama ini ada di hatinya. Dia menatapku memelas. Seperti berharap agar Aku berhenti berpura-pura lupa. “Kamu mengenaliku kan, Aira?” Kali ini dia menghapus semua air mata yang ada. Menyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia terus menatapku sambil berusaha menahan tangis yang jelas jelas sebentar lagi akan pecah.
“Aku tidak mengenali dirimu. Aku tidak mengingat namamu, Maaf...” Ada perasaan hancur yang terpancar dari wajahnya saat Aku mengucapkan kalimat itu. Matanya terpejam berusaha menolak bahwa yang dia dengar adalah salah. “Aku mencoba, tapi aku tak mengenalimu, maaf...” tangisku menguat. Kepala ini sepertinya kian tak berguna, kupukul berulang kali hanya berharap dengan begitu kali saja kepala ini bisa kembali dengan sistemnya yang semula. Lelaki itu hanya mampu menundukkan kepala dengan baju yang telah dibanjiri airmatanya sendiri. Isak tangis memenuhi ruangan kamar ini. Dia yang menangisi kenyataan dan Aku yang menangisi keadaan.  “Aku mungkin tak mampu mengingatmu, tapi hati ini mengingatnya. Hati ini tahu bahwa Kamu sangat mencintaiku, dan Aku pun yakin, Kamu adalah orang yang sangat Aku cintai”. Tanganku menggenggam erat jemari itu, Kalimatku ditutup oleh tangisnya yang kian terasa perih. Dia segera meraihku kepelukannya. “Terima Kasih, Aira. Terima Kasih...” bisiknya. Hanya itu yang ia ucapkan. Dia mengecup wajahku. Membanjiriku dengan kecupan yang banyak. “Aku pun sangat mencintaimu” jawabnya.

Pagi itu, Pagi terakhirku mengenalimu. Memoriku lenyap tak bersisa. Tapi Aku tahu, ada satu hal yang tak akan pernah hilang dariku, meski waktu coba untuk merebutnya. Bagaimana kau mencintaiku di hari pertama kita bertemu, bagaimana kau tetap mencintaiku di hari-hari Aku melupakanmu, dan bagaimana kau tetap mencintaiku meski kelak tanpa ragaku. Hatiku akan tetap mengingatnya.


Jumat, 04 Januari 2019

Mei 2018



Perjalanan kali ini membawa aku pada satu cerita baru.
Cerita yang kugenggam dalam ingatan, dan kutuang dalam tulisan yang berharap lebih abadi dari perjalanan itu sendiri.
Aku, menemukan sebuah makna baru dari sebuah perjalanan, bahwa banyaknya jalan yg tertempuh justru membawa kita berakhir pada sebuah kebingungan.
Bingung untuk membedakan, apakah aku sedang "pergi" atau "pulang".
Apakah aku sedang "datang" ketempat baru atau malah "kembali" ke posisi sebelumnya.
Gugusan pulau itu mengingatkan ku bahwa sejauh apapun aku sekarang belayar, yang ku perlukan hanya sebuah dermaga untuk berlabuh.
Aku yang singgah antara pulau demi pulau itu, menyusuri mencari hal menarik untuk di kenang,
Namun lucunya meski aku menyukainya, aku tak pernah berencana untuk tinggal menetap.
Aku kembali kedalam perjalananku, entah itu untuk "pergi" atau untuk "pulang".
Perjalanan ini membawa aku pada sebuah cerita baru, bahwa pergi tak berarti hilang.
Dan pulang belum tentu kembali.
Namun satu hal yang paling kuyakini saat ini, tepat diatas ketinggian 2000 kaki ini, kelak aku pasti akan berhenti melakukan perjalanan pencarianku.
Akan ada satu dermaga yang nantinya tak akan ku tinggal pergi.
Sebuah tempat yang akan ku sebut "rumah".
Sebuah tempat yang apapun yg ada di dalamnya akan menjadi sebuah pertualangan baru.
Sebuah tempat yang berisi aku, kamu dan cerita-cerita kita.

Labuan Bajo, Mei 2018